Skip to main content

Secercah Harapan dikala Senja



Musim hujan tahun ini telah tiba. Awan yang semula putih berubah menjadi kehitam-hitaman. Gumpalan-gumpalan awan hitam dilangit, menandakan hujan lebat akan turun. Lalu lintas yang semula padat, kini berangsur-angsur menurun. Tentu saja, semua pengguna jalan berhenti mencari tempat yang teduh. Hujan lebat akan segera turun. Memang sudah tiga hari ini, hujan lebat selalu turun. Tanpa ada yang menyangka, kapan mereka akan datang.


Jalan Merpati adalah nama jalan di salah satu perkampungan kumuh . Disanalah aku tinggal, bersama ayah dan kedua adikku. Ibuku sudah lama meninggal. Dan sejak saat itulah, aku mulai sadar bahwa aku harus membantu beban ayahku.


“Yah, aku berangkat..”, kataku saat aku melihat ayah baru pulang sore itu. Dia terlihat sangat lelah, sampai aku tak tega melihatnya. Sudah tiga tahun ini, aku tidak bersekolah. Seharusnya, sekarang aku adalah siswa kelas dua SMA. Namun, apa boleh buat keadaan ekonomi keluargaku membuatku harus berhenti bersekolah. Awalnya sulit bagiku untuk melakukan hal ini. Namun, aku merasa bahwa adik-adikku lebih membutuhkannya dibandingan dengan aku. Bahkan, aku rela melakukan apa saja asalkan mereka dapat tetap menuntut ilmu.


“Kamu yakin akan berangkat sekarang, nak? Lihat, gumpalan awan hitam mulai menutupi langit yang cerah itu”, kata ayah saat melihatku akan pergi. “Tidak apa-apa, yah. Hmm.. sepertinya, hujan hari ini tidak akan lama. Aku yakin itu”, kataku meyakinkannya. “Baiklah kalau kamu memaksa, berhati-hatilah,nak”.”Terima kasih, yah. Aku pergi dulu. Nanti, kalau mereka mencariku, katakan saja aku ada di warung dekat sungai itu”.”Tentu saja. Nanti, ayah akan menyuruh kedua adikmu mengunjungimu”, kemudian aku beranjak pergi.


Sesampainya di pinggir sungai, aku segera mengeluarkan peralatan yang akan kugunakan. Ya, selama ini aku hanyalah seorang penghibur. Bersama kedua temanku, aku selalu melakukan pekerjaan ini setiap hari. Hanya berbekalkan beberapa lampu bekas, kaca, dan barang-barang bekas lainnya, aku mengubahnya menjadi sebuah pertunjukan yang lumayan menarik. Suasana yang remang-remang disekitar sungai juga menambah ketertarikan pada hiburanku ini.


“Hai, Dan. Maaf ya aku terlambat. Tadi ayah sempat tidak mengijinkanku pergi sebab awan yang sangat gelap ini. Hmm.. semoga saja tidak jadi hujan. Kalau hujan, kita tidak akan dapat apa-apa hari ini”, kataku saat aku datang. “Ya, kamu benar sekali. Kita juga sudah tau kan, kalau tempat ini sangat sepi waktu hujan”, sahut Danny salah satu temanku. “Ya, itu memang betul. Apalagi, kalau hujan suasananya ngeri banget. Hii.. pokoknya kalau hujan kita pulang saja. Gimana?”, kata Devi, sahabatku yang lainnya.


“Ah.. kalian jangan putus asa gitu, dong. Kita berdoa aja, semoga hujan tidak jadi turun. Dengan begitu, kita bisa mendapat penghasilan. Siapa tau kan, bisa dapat banyak”.”Hmm.. kan aku cuma menduga kemungkinan yang terjadi” sela Danny yang mulai gelisah akan datangnya hujan.


Ternyata dugaan mereka benar. Tak lama kemudian, hujan turun dengan lebatnya. Warung pinggir sungai yang semula ramai, berangsur-angsur menjadi sepi. Para pembeli beranjak pergi meninggalkan warung itu entah kemana. Hujan disertai angin kencang dan petir menambah kengerian suasana sekitar sungai itu. Aku dan kedua temanku kebingungan mencari tempat untuk berteduh. Untungnya, ibu pemilik warung itu sangat baik. Dia menawarkan kepada kami untuk berteduh di warungnya hingga hujan reda.


“Hei, Nak. Kemarilah.. Berteduhlah disini, hujannya sangat lebat. Pepohonan itu tidak akan melindungi kalian tetap kering”, katanya sambil mendatangi kami bertiga dengan membawa sebuah payung berwarna merah muda.


“Wah, terima kasih banyak, Bu. Kami akan tinggal disini sementara waktu hingga hujan ini reda. Setelah itu, kami akan pulang.”, jawabku.


“Oh, baiklah, Nak. Jangan sungkan – sungkan, mari masuk. Kalau begitu ibu buatkan teh hangat dulu, ya.. Kalian tunggu disini saja”, kemudian ibu itu pergi sambil menunjukkan dua buah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Kursi itu terlihat sangat kokoh, walaupun warnanya mulai memudar. Setelah beberapa saat, ibu itu kembali dengan membawa tiga cangkir teh hangat ditangannya.


“Minumlah, teh ini bisa menghilangkan rasa dingin di tubuh kalian”


“Terimakasih banyak, Bu..”


“Hmm.. Kalau boleh tahu, kenapa kalian ada disekitar sini di malam hari seperti ini? Seharusnya kalian belajar, besok kan hari Senin”, kata ibu pemilik warung itu.


“Sebenarnya, kami sudah tidak bersekolah lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, saya sudah tidak bersekolah. kalau saja ada biaya, sebenarnya saya masih ingin bersekolah lagi. Kedua teman saya ini pun juga bernasib sama seperti saya”, jawabku. Kemudian, ibu itu ingin aku bercerita lebih banyak mengenai kehidupanku. Akhirnya, aku menceritakannya.


“Oh, kasihan sekali kalian. Ibu ingin membantu, tapi sayang ibu tidak bisa. Biaya sekolah sekarang ini mahal. Dan ibu hanya mendapatkan uang dari warung kecil ini”, kata ibu itu sambil menitikkan air matanya. Sepertinya, dia terharu mendengarkan ceritaku.


“Ibu sudah sangat baik, bersedia memberikan minum dan tempat berteduh kepada kami bertiga. Kalau diijinkan, besok kami akan datang kesini lagi. Kami akan membuat sebuah pertunjukan didekat sungai depan itu”. “Oh, tentu saja. Datanglah, ibu menunggu kalian”.”Terimakasih, Bu..”


Hujan mulai reda, dan akhirnya berhenti. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, aku dan kedua temanku pamit pulang. Yah, hari ini memang bukan hari yang baik. Aku sama sekali tidak mendapatkan selembar uangpun. Aku bingung, apa yang harus kuberikan pada kedua adikku nanti?


***


Keesokan harinya, tepatnya pukul 4 sore, hujan turun sangat lebat. Kini aku benar – benar kebingungan. Sudah dua hari hujan terus turun. Kalau hujan tidak berhenti, aku tidak akan bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Tapi, bagaimanapun caranya aku harus pergi memcari uang bersama kedua temanku itu. Dan kali ini, sungai itu begitu sepi, hening. Tak ada satupun orang yang datang, karena sore itu hujan turun sangat lebat.


“Hmm.. sepertinya, hari ini aku akan rugi. Pasti, tidak akan ada pemasukan sama sekali. Pengunjung? tidak ada sama sekali. Lebih baik aku pulang dan membantu adik -adikku mengerjakan tugas. Meskipun, aku nggak tahu, aku bisa atau tidak”, akhirnya aku beranjak pergi.


Sesampainya dirumah, kedua adikku langsung menyambutku. Tak seperti biasanya, mereka menyambutku dengan wajah sedikit murung. “Kalian kenapa? Sakit? Atau ada banyak tugas yang belum selesai?”, tanyaku penasaran. Lalu, mereka menjawab pertanyaanku itu,”Eh..Anu..Hmm.. Kak, Senin depan adalah hari terakhir kita harus melunasi SPP. Kalau tidak…” Belum selesai mereka menjelaskan. Tanpa kusadari, aku menyela pembicaraan ini,”Kalau tidak? Kenapa? Apa yang akan terjadi?”. Aku mulai merasa kebingungan. Semoga saja hal buruk tidak akan terjadi. “Kalau tidak.. Kepala sekolah akan mengeluarkan kita, Kak”.


Mendengar kata – kata itu tubuhku langsung lemas, tak berdaya. Aku tidak mungkin bisa membayarnya kalau aku tidak bekerja. Bagaimanapun caranya, aku bertekad akan mencari uang untuk membiayai SPP mereka. Kalau sungai memang sepi, maka aku akan pergi ketempat lain, dimana ribuan orang akan berkumpul disana, menyaksikan pertunjukan yang kubuat. Itulah tekadku, dan aku akan mulai melakukannya besok. Aku tak ingin, mereka memiliki nasib yang sama sepertiku.


“Ah, kalian tenang saja. Aku ada banyak uang kok, nggak perlu bingung seperti itu. Lebih baik, sekarang kalian istirahat. Besok kalian harus bangun pagi”.”Baiklah, Kak..”, jawabnya dengan serentak.


***


Hari berganti hari, sudah hari ketiga hujan terus turun dengan lebatnya. Tiga malam ini, aku melakukan pertunjukanku di tempat yang berbeda – beda. Sangat sulit, mencari penonton yang banyak. Musim hujan kali ini membuatku merasa sedikit putus asa. Tapi, aku harus menjauhkan rasa putus asa itu dari diriku sejauh mungkin.


“Ah, aku tidak boleh putus asa. Seharusnya aku bisa memberikan semangat untuk kedua temanku itu. Kalau mereka sedang putus asa, harusnya aku yang menghilangkan rasa putus asa itu, bukannya ikut – ikutan. Ayo.. Semangat, aku pasti bisa”, pikirku dalam hati.


Tiba – tiba saat aku sedang melakukan pertunjukanku, sebuah mobil yang melintas disebelahku melewati kubangan lumpur yang cukup besar sehingga, menyemprotkan lumpur ke bajuku. Lalu mobil itupun berhenti. Seorang wanita muda keluar dengan membawa sebuah payung dan dia meminta maaf kepadaku,”Ah.. Maafkan aku, Dik. Aku sama sekali tidak melihatmu, aku tidak sengaja. Oh, bajumu sangat kotor. Aku..Aku benar – benar menyesal”. “Sudahlah tidak apa – apa. Hmm.. lebih baik anda pulang saja. Hari sudah malam”, jawabku. Namun ternyata, wanita itu masih merasa bersalah, dan dia meminta maaf lagi kepadaku. Dan setelah itu, dia ingin mengetahui apa yang kulakukan disini bersama kedua temanu itu.


“Aku benar – benar minta maaf. Sekali lagi, tolong maafkan aku”


“Bukannya aku sudah bilang kalau anda sudah kumaafkan. Sudahlah..”, jawabku.


“Oh, terimakasih ya.. Hmm, kalau boleh tahu ada apa ini? Kenapa banyak orang berkumpul disini?”


“Eeh..”, kemudian aku menjelaskan tentang pekerjaanku ini. “Sebenarnya aku adalah seorang penghibur. Disini aku sedang melakukan pertunjukanku. Entah bakat atau apa, aku selalu senang melakukannya dari dulu. Banyak barang – barang yang sudah aku coba untuk membuat sebuah pertunjukan. Apa anda ingin melihat pertunjukanku ini? Tapi, anda harus membayar, seikhlasnya.”


Setelah mendengar penjelasanku itu, dia mengangguk – angguk. Namun, saat ia mendengar kata seikhlasnya, ia langsung kaget. “Apa? Seikhlasnya? Seharusnya, kamu memberikan harga yang pasti untuk mereka yang melihat pertunjukanmu ini”


“Mereka tidak akan mau melihatnya, ini hanya pertunjukan biasa, lihat saja barang yang kupakai, semua dari barang bekas. Biar kutunjukkan salah satu atraksiku”, kemudian aku mulai beraksi bersama kedua temanku dihadapan wanita itu. Dan tiba – tiba..


“Wah, kalian benar – benar hebat. Hmm, kita belum berkenalan ya.. Namaku Dewi. Sebenarnya aku disini sedang mencari penghibur untuk acaraku besok dan aku mau kalian datang untuk mengisi acara itu. Aku akan memberikan gaji besar untuk kalian. Dan, aku akan mempromosikan kalian bertiga agar bisa menjadi terkenal, usaha kalian sungguh luar biasa.”


“Apa? Oh, terimakasih banyak. Kami benar – benar tidak menyangka, usaha kami selama ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Kami sangat senang kalau penonton yang melihat menyukai penampilan kami. Terimakasih juga karena anda sudah mau memberikan peluang besar bagi kami..”


“Ya, sama – sama”


Akhirnya, aku dan kedua temanku berhasil mencapai apa yang kami inginkan, yaitu bisa menjadi orang yang sukses. Dan kini, kami telah bersekolah kembali. Memang benar, usaha yang dilakukan dengan sungguh – sungguh akan menghasilkan hasil yang maksimal.


Musim hujan mulai berhenti, berganti menjadi musim kemarau. Walaupun demikian, musim hujan kini bukanlah masalah lagi buatku. Kini aku telah siap jika musim hujan datang kembali dan aku juga telah menyadari bahwa keadaan alam bukanlah suatu penghalang untuk tetap berusaha dan berkarya.

Comments

Popular posts from this blog

Nebula

Nebula by Tere Liye My rating: 5 of 5 stars Aku selalu menyakini, semakin gelap sesuatu—karena kegelapan menyelimutinya—maka sejatinya, hanya soal waktu cahaya terang menyinarinya. Cukup selarik cahaya kecil, kegelapan itu mulai pudar. Dan sebaliknya, semakin terang sesuatu, juga akan semakin gelap bayangan yang terbentuk. (Bibi Gill) "Nebula" adalah buku kesembilan dari serial Bumi. Buku ini melanjutkan kisah miss Selena bersama kedua sahabatnya di buku sebelumnya, SELENA. Tidak sampai 24 jam aku membaca habis buku ini. Rasanya, campur aduk. Tere Liye mampu membawa pembacanya merasakan emosi-emosi para tokoh di dalam cerita, senang, sedih, bahagia, marah, dan perasaan-perasaan lainnya bercampur aduk menjadi satu. Susah mendeskripsikannya. Bahkan ada bagian dimana aku ikut menangis membaca cerita ini.  Masih sama dengan buku sebelumnya, buku ini menuliskan kisah berdasarkan sudut pandang miss Selena. Ali, Raib, dan Seli hanya muncul sebagai tokoh sampingan. Mas

The Silent Patient by Alex Michaelides

  The Silent Patient by Alex Michaelides My rating: 4.5 of 5 stars A few days ago I read a book by Alex Michaelides entitled The Silent Patient which genre was psychological thriller. When I was reading this book I thought it's easy to know who the antagonist was, but I was totally wrong. The plot twist was indeed incredible! For some reasons, this book now becomes my second favorite book after A Study in Scarlet by Arthur Conan Doyle. At first I had no plans to read The Silent Patient, but I inadvertently found it in one of my friend's instagram story. Then I decided to read it as I had nothing to do LOL. This is the first novel about psychology that I read so I've no idea whether I'm gonna like it or not. But surprisingly this book will indeed make you can't sleep because it's vey compelling. Some people who really love mystery and have read many mystery books may be easily guess the end of the story but still this book is worth to read. Not only about myste

Dan Dunia itu Telah Runtuh

Saat itu akupun tersadar, ah memang semua yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya.      Satu hari, dua hari, hingga lebih dari satu minggu telah berlalu. Hari itu Jumat, 21 Oktober 2023 seseorang yang sangat sangat sangat berarti untukku telah pergi untuk selamanya. Mengapa aku menuliskan kata 'sangat' sebanyak tiga kali? Ya, karena memang seperti itulah sosok ibu untukku, bahkan tiga kalipun tidak bisa mewakili seberapa berarti dia untukku. Kehilangan bukanlah kata yang baru saja aku kenal, bukan juga sesuatu yang mengagetkan, tapi kali ini berbeda. 25 tahun menjalani kehidupan di dunia ini, siapa lagi orang yang selalu ada dalam suka maupun duka? Ibu. Hubungan kami memang bukanlah suatu hubungan yang sempurna, tidak jarang juga eyel eyelan (apa ya bahasa indonesianya haha), tapi tentu saja per-eyel eyelan itu tidak berjalan lama. Hanya beberapa saat saja dan kami akan berbaikan hanya dengan 'yuk cari es campur'.           Kalau ditanya, a