Pagi itu langit terlihat sedikit mendung. Di dalam kamar, aku mengemasi barang-barang; memasukkan beberapa pasang baju dan dibalik pintu sepasang sandal tampak setia menunggu. Rencananya siang itu kami akan pergi ke Desa Pela. Ya, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa ini membentang di sepanjang Sungai Mahakam, habitat alami pesut mahakam yang semakin langka.
Sebelum melanjutkan cerita perjalanan, izinkan aku sedikit menjelaskan tentang mamalia unik ini. Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) merupakan lumba-lumba air tawar yang hidup di sungai tropis. Sejak tahun 2000, pesut mahakam berstatus critically endangered karena populasi pesut dewasa berjumlah kurang dari 50 individu. Pada awalnya pesut mahakam banyak ditemukan di sekitar Muara Pahu-Penyinggahan, Kabupaten Kutai Barat, namun mereka mulai bermigrasi ke daerah Muara Muntai, Pela, dan Muara Kaman akibat meningkatnya lalu lintas ponton batu bara serta alih fungsi lahan rawa menjadi kebun kelapa sawit. Nah, jika kalian ingin mengenal lebih dalam tentang pesut mahakam, nanti akan kusertakan beberapa bacaan menarik di akhir cerita ini.
Setelah selesai bersiap kami pun memulai perjalanan. Perjalanan darat ditempuh dari Kota Samarinda menuju Desa Pela selama kurang lebih tiga jam. Untungnya, hari itu hujan tidak turun meskipun langit mendung. Kami sebenarnya berharap bisa menyaksikan matahari terbenam di Danau Semayang, namun harapan itu tampaknya harus pupus mengingat awan mendung yang terlihat luas siang hari itu. Oh ya, sepanjang perjalanan, ada satu lagu yang terus mengalun dari playlist bapak sopir—Mangu dari Fourtwnty. Iya, sama dengan judul cerita ini, karena memang cerita ini ditulis sambil mendengarkan lagu yang sama. Entah kenapa, lagu itu melekat begitu kuat, seolah menjadi suara yang terus menggema bahkan setelah perjalanan usai.
"Yah, kan kita mau lihat sunset. Gagal dong", keluh salah satu teman perjalananku. Tapi, benarkah langit mendung siang hari menandakan sore nani juga akan suram? Entahlah, tak ada yang tahu pasti, namun harapan tak sepenuhnya padam, bukan?
Sepanjang perjalanan, mata kami sangat dimanjakan oleh deretan pohon eukaliptus yang menjulang tinggi dan berbaris rapi di pinggir jalan. Pohon itu belum pernah kami jumpai sebelumnya (aku sih bukan kami lebih tepatnya). Barisan pohon itu seperti memberi salam hangat, selamat datang. Di balik pepohonan, terlihat hamparan bukit dan langit yang luas silih berganti; hutan kemudian sekumpulan pohon eukaliptus kemudian bukit dan seterusnya. Aku berharap tempat ini akan tetap terjaga alamnya dan tak tersentuh oleh tangan-tangan yang hanya mementingkan keuntungan.
Singkat cerita, tibalah kami di dermaga Liang Ulu, dimana dua pemandu telah menanti dengan sebuah perahu. Meski dermaga ini terlihat sederhana, tempat ini menjadi jalur utama menuju Desa Pela yang hanya bisa diakses lewat sungai.
"Jadi dimana kita bisa lihat pesutnya pak?"
"Ya disini kak. Pesutnya ada di sungai ini"
"Oooh kita langsung cari pesut ya pak? Lalu, berapa populasi pesut saat ini? Pesut yang mati karena apa ya pak? Wah banyak ya jumlahnya. Oh, itu sedikit ya?". Beragam pertanyaan kami lontarkan dan para pemandu menjawabnya satu per satu dengan sabar.
Perjalanan ini terasa semakin magis, sebab pesut yang konon langka itu justru bermunculan, menampakkan diri satu per satu seolah menyambut kami. "Selamat datang di rumah kami", begitu seakan mereka berkata. Tidak hanya pesut dewasa, tapi anak-anak pesut pun ikut bermunculan. Bagaimana kami tahu usia mereka? Ternyata para pemandu mengenal mereka. Bu Kreb, seorang berkebangsaan Belanda sudah cukup lama melakukan penelitian tentang pesut mahakam. Ia juga melakukan sensus terhadap populasi pesut di sepanjang sungai mahakam.
Menjelang waktu ashar, kami beristirahat sejenak di penginapan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Danau Semayang. Penginapan kami berupa rumah panggung di atas Sungai Mahakam. Pemukiman warga desa berjajar rapi di sepanjang sungai dengan jalanan kayu memanjang di depannya. Rumah-rumah dibangun cukup tinggi untuk mengantisipasi naiknya permukaan air. Beberapa ratus meter dari tempat kami menginap, terdapat museum Pesut Mahakam dan denah kawasan Desa Wisata Pela.
Di perjalanan menuju Danau Semayang, matahari mulai merekah memeluk kami dengan kehangatannya. Di salah satu sisi danau, pohon bakau tumbuh tenang. Beberapa pengunjung terlihat bersantai di gazebo, menikmati sore yang damai sambil bercanda, sementara sebagian lainnya berenang riang. Kami berdiam selama beberapa jam disana, menanti saat paling ditunggu: matahari terbenam di ufuk barat. Sore itu menjadi penutup sempurna—kami puas dengan perjumpaan langka bersama pesut, dan senja yang menutup hari dengan kesan yang tak terlupakan.
Hidangan makan malam telah tersaji ketika kami tiba di penginapan. Menu malam ini adalah nasi, ikan goreng (aku lupa jenis ikannya), sambal, sayur, tempe, dan kolak. Kami yang merasa lelah setelah bergerak seharian menyantapnya dengan lahap. Meskipun masih muda, tapi bisa dibilang kami ini agak jompo, beraktivitas seharian saja sudah lelah. Lezat sekali rasanya makanan di malam itu. Malam dilanjutkan dengan kegiatan yang sebenarnya biasa-biasa saja, bermain kartu dan monopoli dan bercerita tentang perasaan hari ini.
Perjalanan belum usai. Desa Pela tak hanya menyuguhkan alam yang menakjubkan, tapi juga menyediakan berbagai fasilitas bagi para wisatawan. Pagi itu, kami bersepeda menyusuri setiap sudut desa sambil menikmati hangatnya matahari terbit. Sepanjang perjalanan, warga desa tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing—seorang bapak memperbaiki sesuatu, anak-anak bermain riang, seorang ibu mandi sambil mencuci di tepian sungai. Saling sapa mengalir antara kami dan para warga. Keramahan mereka terasa hangat, menyambut seolah sudah lama kenal dan pernah bertemu sebelumnya. Usai bersepeda, kami kembali mencari pesut, lalu dilanjutkan dengan membuat kerajinan tangan berupa gantungan kunci. Kami diajak untuk mencoba membuat gantungan yang terbuat dari kayu menjadi seekor pesut. Masing-masing dari kami membawa pulang sebuah gantungan kunci sebagai pengingat bahwa kami pernah kesini sebelumnya.
Sekitar pukul 1 siang, kami kembali menuju Kota Samarinda. Perjalanan ini meninggalkan jejak kenangan yang begitu berkesan dan tak terlupakan untukku. Kapan lagi aku bisa melihat mamalia unik yang hampir punah ini bersama dengan teman-teman perjalanan yang tak kalah uniknya?
Bacaan lebih lanjut:
Noor, Ivan Y., et al. "Kelimpahan Dan Sebaran Populasi Pesut Mahakam (Orcaella Brevirostris Gray, 1866) Di Sungai Mahakam Kalimantan Timur." Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, vol. 10, no. 3, 2013, pp. 283-296
TEMPO Publishing. "Melongok Kehidupan Ikan Pesut, Satwa Khas Indonesia"
Comments
Post a Comment