Skip to main content

Mengenal Manusia

 Manusia. Satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga, salah satu jenis makhluk hidup yang menempati planet nomor tiga di susunan tata surya Galaksi Bimasakti. Konon katanya manusia diciptakan dengan segala kesempurnaannya karena ia begitu dicintai oleh Sang Pencipta. Bahkan, di antara semua makhluk yang hidup di planet ini, hanya manusia yang diberikan akal dan perasaan olehNya. 

Karena memiliki akal dan perasaan, makhluk ini pun menjadi beraneka ragam sifat dan karakternya. Ada yang hidup menjadi orang baik, ada yang menjadi orang jahat, ada yang sangat jahat (bahkan iblis yang bertugas menghasut manusia pun minder dengannya), dan lain-lain. Mengenal manusia juga tidak sesederhana itu, hati manusia yang tersembunyi di dalam rongga perut sebelah kanannya tidak bisa dilihat langsung, makanya sulit sekali menebak perasaan makhluk ini. Begitu pula apa yang ada di dalam pikirannya. Otak dilindungi oleh suatu kerangka keras bernama tengkorak, kalau tidak dibuka, apa iya bisa melihat pikiran manusia? Kalapun dibuka, pikiran-pikiran itu tetap masih tersembunyi jauh di dalam sana. 

Nah, sepertinya terlalu banyak kata 'manusia' di tulisan ini. Tapi ya bagaimana lagi, memang judulnya kan ingin mengenal manusia. Kali ini, manusia mana lagi yang ingin kamu kenal? 

Hubungan manusia itu rumit, apalagi dengan adanya kecanggihan teknologi saat ini. Loh, kok bisa? Iya, soalnya seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, manusia itu sulit ditebak, hanya Tuhan saja yang benar-benar mengerti isi hati dan pikiran manusia luar dan dalam. Tuhan itu tidak perlu melihat, tapi ia melihat; tidak perlu mendengar, tapi ia mendengar; dan tidak perlu merasakan, tapi ia merasakan. Keren sekali ya? 

Kembali ke hubungan manusia dengan teknologi. Pada zaman dahulu (berasa tua) sebelum adanya ponsel pintar, aku rasa hubungan manusia itu tidak serumit sekarang. Ketika membuat janji, cukup dengan "nanti sore ya jam 5 di sebelah warung pecel",  semua akan hadir tepat waktu.  Tapi sekarang harus melalui ratusan bahkan ribuan chat di whatsapp dan pertanyaan "jadi nggak nanti?" yang selalu muncul di waktu-waktu genting yang selalu menjadi penentu hadirnya seseorang. Bahkan seringkali manusia ini dengan mudahnya membatalkan atau membuat janji tiba-tiba.  Makhluk yang aneh. Kalau dipikir-pikir, memang segala sesuatu yang modern ini memudahkan, tapi ada juga sisi menyebalkannya.

Ada lagi yang lebih menyebalkan. Menjadi psikolog dadakanmenyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang ada di pikiran. Di masa sekarang, dimana segala sesuatu serba digital, kegiatan bertanya dan menjawab pertanyaan bisa dilakukan lewat ponsel pintar saja. Cukup dengan membeli paket data, mengetikkan pesan, mengklik tombol kirim, dan selesai. Selamat, pesan kamu telah diterima. Lalu, kegiatan membalas juga mudah saja dilakukan dengan langkah yang sama. 

Pesan yang diterima dalam bentuk teks ini membuat si manusia menerka-nerka seperti apa ya intonasi pengirim saat menulisnya? Kata "gimana" bisa memiliki banyak arti tergantung pembacanya. 

Misalnya, si pembaca sedang badmood, kata "gimana" yang sebenarnya ingin diucapkan dengan lembut tapi ia baca dengan nada nge-gas, "GIMANA!!". Atau kata "gimanaa" yang ditulis dengan kelebihan huruf a, dianggap lebih ramah dibandingkan kata "gimana"padahal menurut KBBI ya hanya ada satu huruf a di akhir dan seharusnya dituliskan "bagaimana". Nah, kemudian si manusia ini jadi terbawa perasaan, atau istilah zaman sekarangnya adalah baper.  

Durasi membalas pesan juga menjadi masalah. Si manusia pengirim inginnya cepat dibalas, tapi ternyata dia bukan jadi prioritas si penerima, jadi tidak langsung dibalas. Ada juga yang sengaja membalas agak lama agar tidak terlihat sedang menunggu pesan darinya. Tapi ada juga entitas manusia yang sepertinya tidak peduli kalau tidak dekat dengan pengirim pesan, jadi tidak pernah membalas meskipun pesannya penting. 

Tapi, sebetulnya bisa jadi itu hanyalah asumsi si pengirim pesan, bisa jadi orang yang sedang dikirim pesan memang sedang sangat sibuk sehingga tidak sempat membalas sampai berhari-hari. Wajar saja, tangan manusia kan hanya ada 2 dengan total 10 jaritangan kanan untuk menggerakkan mouse, tangan kiri untuk makan, lalu tangan yang mana lagi yang bisa membalas pesanmu? Tidak ada kan.  

Apakah semua manusia mudah baper? Apakah mereka memang mudah menyimpulkan segala sesuatu dengan pikiran mereka? Entah, aku juga tidak tahu. Seperti yang kukatakan, mengenal manusia seutuhnya itu sama seperti mencari jarum di tengah laut. Sulit, hampir tidak  mungkin, tapi ya mungkin saja dengan kemungkinan sekecil itu. Perlu waktu yang sangat panjang untuk benar-benar mengenal manusia, mungkin seumur hidup lamanya. 

Bukannya ingin terus menerus mengkritik manusia, karena kan manusia ini adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Akal dan hati manusia ini saja yang membuat satu sama lain menjadi berbeda, unik. Banyak juga manusia baik yang selalu berpikir positif terhadap segala sesuatu, ya meskipun menurutku terlalu baik juga tidak baik. 

Ada seseorang yang terlalu baik, suka membantu manusia lain, suka menjadi pendengar yang baik, dan suka melakukan hal-hal baik lainnya. Tapi lama kelamaan seringkali dia merasa lelah dengan kebaikannya karena dia pikir orang disekitarnya tidak menjadi baik juga. Kalau dari yang aku pahami, kebaikannya malah justru dimanfaatkan manusia di sekitarnya. 

Lalu, apakah dia berhenti menjadi orang baik? Jawabannya, tidak. Dia masih melakukan kebaikan sampai sekarang, meskipun sambil ngomel-ngomel. Menurutku ada sebuah skill yang tidak ia miliki, yaitu kemampuan untuk menolak. Fisik dan mental manusia kan terbatas, kalau semua diiyakan, yakin mampu bertahan sampai akhir? Seperti lilin yang berusaha terus menyala untuk memberi terang, ia pun perlahan meleleh dan habis, sementara manusia di sekitarnya sudah pergi mencari cahaya dari lilin lain.   

Pada akhirnya, karena manusia diberikan akal dan hati, ada baiknya mereka tidak hanya menggunakan salah satunya, tapi gunakan keduanya. Terlalu menggunakan perasaan, jadi mudah baper; terlalu menggunakan pikiran, jadi tidak berperasaannir empati. Nah, kalau digunakan keduanya bukankah lebih baik? Ketika mulai baper, kemudian berpikir, "oh sepertinya maksud pesan ini tidak begitu. Kita coba baca lagi, jangan cepat menyimpulkan"nah, jadi tidak terlalu baper kan. 



Comments

Popular posts from this blog

Cerita dari Mahakam: Mangu, Pesut, dan Senja

     Pagi itu langit terlihat sedikit mendung. Di dalam kamar, aku mengemasi barang-barang; memasukkan beberapa pasang baju dan dibalik pintu sepasang sandal tampak setia menunggu. Rencananya siang itu kami akan pergi ke Desa Pela. Ya, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa ini membentang di sepanjang Sungai Mahakam, habitat alami pesut mahakam yang semakin langka.      Sebelum melanjutkan cerita perjalanan, izinkan aku sedikit menjelaskan tentang mamalia unik ini. Pesut Mahakam ( Orcaella brevirostris) merupakan lumba-lumba air tawar yang hidup di sungai tropis. Sejak tahun 2000, pesut mahakam berstatus critically endangered karena populasi pesut dewasa berjumlah kurang dari 50 individu. Pada awalnya pesut mahakam banyak ditemukan di sekitar Muara Pahu-Penyinggahan, Kabupaten Kutai Barat, namun mereka mulai bermigrasi ke daerah Muara Muntai, Pela, dan Muara Kaman akibat meningkatnya lalu lintas ponton batu bara serta alih fungsi la...

Sebuah Fase

      S atu tahun lebih telah berlalu, dan tak ku sangka aku mampu. Aku tidak mengira malam-malam kelabu itu akhirnya berlalu dan kini semua kembali normal. Tapi, sejujurnya aku pun tidak yakin apakah kini memang benar-benar sudah menjalani hidup yang normal dan kembali menjadi diriku yang dahulu?     Beberapa lama rasanya seperti kehilangan diri sendiri. Aku pikir merelakan itu mudah, karena aku pun tahu bahwa rela atau ikhlas itu memang sesuatu yang seharusnya aku lakukan dan semua kejadian yang terjadi adalah atas kehendakNya. Tapi, apa iya semudah itu? Ternyata tidak. Ada beberapa fase yang ternyata berlalu selama 1 tahun terakhir di hidupku. Dan aku rasa aku sudah bisa menceritakan semuanya sekarang.      Jika boleh jujur, awalnya aku tidak merasakan apapun. Disaat yang lain berlinang air mata, aku hanya terdiam menatap rumah terakhir ibuk disana. Aku hanya berkata lirih, "semoga tenang" kemudian kembali ter...