“Bagaimana kondisi ibu? Masih ada yang terasa sakit? Kalau masih ada yang terasa sakit, ibu langsung saja datang ke rumah sakit. Semoga lekas sembuh”
Sudah 2 tahun aku bekerja menjadi seorang dokter di salah satu rumah sakit besar di Ibukota. Senang rasanya bisa menggapai cita-citaku menjadi seorang dokter. Setelah melewati hari yang panjang di rumah sakit, aku berniat untuk pergi mencari oksigen. Di tengah perjalanan kulihat beberapa anak jalanan sedang memperdebatkan mimpi seorang temannya. Melihatnya membuatku teringat masa laluku 10 tahun yang lalu, ketika orang tua dan sahabatku melarangku menggapai mimpiku.
***
“Benarkah? Kamu yakin bisa? Menurutku hal itu mustahil buat kamu. Kamu harus inget, siapa kita dan dimana kita berada. Mending kamu lupain aja deh!”
Kalimat itu terus saja bergema di telingaku. Sudah tiga hari aku terus terjaga sepanjang malam sejak terakhir kali kuceritakan mimpiku kepada Dewi, sahabatku. Dan itulah respon yang ku dapat. Mimpi? Apa itu? Mimpi bak suatu kata mustahil. Tidak hanya sahabatku, bahkan orang tuaku pun tidak yakin dengan yang namanya mimpi. “Sudahlah, Nak, kamu nurut saja sama bapakmu. Tugasmu mudah kok, tinggal bangun pagi, terus antar sarapan bapak ke sawah. Enak kan?” Itulah yang ibu ucapkan ketika kuungkapkan keinginan terbesarku di masa depan. Dokter. Ya, aku ingin menjadi dokter. Tapi, mengapa? Mengapa aku tidak boleh punya mimpi? Memangnya cuma orang kaya saja yang bisa bermimpi? Apa anak seorang petani harus jadi petani juga? Begitu banyak pertanyaan berlalu-lalang di otakku. Tak ada seorangpun yang tahu akan perasaanku. Dan tak ada seorangpun yang memahamiku.
***
“Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa nanti siang langsung pulang, anterin makanan bapakmu. Jangan mampir-mampir lagi,” ucap ibu sebelum aku berangkat ke sekolah. Seringkali aku mampir ke perpustakaan kota sepulang sekolah. Bagiku perpustakaan adalah tempat terindah dalam hidupku. Bahkan aku tak peduli, mau hujan, badai, atau terik matahari pun akan kuterjang untuk pergi kesana. Tapi, kenapa? Ibu selalu saja melarangku pergi kesana. Ingin rasanya aku tidak memerdulikan nasehatnya lagi. Tetapi, bagaimana dengan bapak? Tidak tega juga rasanya kalau harus membiarkan bapak bekerja hingga kelaparan. Ah, entahlah..
Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Dewi. Sejak pertemuan terakhirku waktu itu, aku jadi canggung ngobrol dengannya. “Mau berangkat juga, Wi? Barengan yuk,” ajakku. “Ra, kamu beneran yakin sama apa yang kamu ceritain ke aku waktu itu? Menurutku, mendingan kamu buang jauh-jauh harapanmu itu. Biaya jadi dokter itu mahal. Emangnya kamu nggak kasihan apa sama bapak dan ibumu?”
Wah, apa ini? Bukannya menjawab pertanyaanku, Dewi malah balik bertanya dan membuatku tersentak. Apa maksudnya? Apa maksud pertanyaannya ini? Dunia memang sulit. Para manusia golongan kelas atas tentunya mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tetapi, bagi kami yang berada di tingkat terendah piramida makanan, sangat sulit rasanya mendapatkan apa yang benar-benar kami inginkan. Tapi bukan berarti segalanya jadi mustahil. Tuhan akan selalu ada membantu para makhluknya.
Kutinggalkan Dewi yang terus saja berusaha memudarkan tekad bulatku untuk menjadi seorang dokter. Aku yakin aku pasti bisa. Aku tahu keyakinan itu penting, karena tanpanya tuhan bisa saja menarik kembali apa yang akan ia berikan.
Sesampainya aku di sekolah, tak sengaja aku melihat pamflet yang terpasang di mading sekolahku. Saat aku mendekat, jantungku benar-benar berdetak kencang, tak tahan rasanya melihat pengumuman yang tertera di pamflet tersebut. Lomba Kedokteran tingkat Nasional. Juara pertama: free pass kedokteran umum Universitas Indonesia. HTM Rp 100.000,-
“Lomba kedokteran? Ya, ini dia yang aku tunggu. Pokoknya aku harus coba,” pikirku. Beberapa saat aku merasa sangat senang karena aku akan mengikuti perlombaan tersebut. Namun, suara Dewi kembali mengagetkanku,”Kamu yakin, Ra mau ikutan? Tuh lihat berapa biayanya. Bisa kamu bayar segitu?” Dalam se per sekian detik pertanyaan tersebut mampu mengubah suasana hatiku. Kali ini ia memang benar, tidak mungkin aku mampu menanggungnya. Beli makan saja susah, apalagi harus membayar hal yang belum tentu hasilnya. Ibu pasti tidak mendukungku, pikirku dalam hati.
Aku berlari. Kutinggalkan Dewi yang masih terpaku di depan mading sekolah. Aku tak kuasa menahan air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Aku terisak. Menangis. Mengapa? Mengapa selalu berakhir seperti ini? Mengapa hanya mereka yang berduit yang bisa dengan mudah meraih mimpinya? Ketika peluang besar di depan mata, mengapa justru seperti ini? pikirku dalam hati. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Ini adalah kesempatan terakhirku. Setelah lomba ini, kami para siswa kelas 12 tidak akan diijinkan lagi untuk mengikuti lomba. Lantas, bagaimana dengan nasibku?
***
Beberapa saat aku mulai berhenti percaya. Aku tidak yakin mimpiku akan menjadi kenyataan. Hilang sudah harapan terakhirku untuk ikut lomba kedokteran. Mungkin benar kata ibu, lebih baik aku bantu bapak. Namun, dalam hati kecilku ada sesuatu yang terasa mengganjal. Aku ingin tidak mempercayai mimpiku lagi. Tetapi, hatiku berkata lain. Aku ingin terus mempercayainya. Aku masih ingin menjadi seorang dokter. Tapi bagaimana aku bisa? Ada dua hal yang saling bertentangan bergejolak dalam jiwaku. Mungkin aku memang mendapat peringkat tinggi di sekolah, tetapi apa daya kalau nggak punya uang? Masih ada jalan. Ya, pasti ada. 2 bulan lagi ujian nasional. Aku harus fokus. Fokus.. Fokus..
Keesokan harinya ketika aku berada di kelas, guru BK memasuki kelasku. Mengapa beliau masuk ke kelasku?
“Hari ini saya akan mengumumkan satu pengumuman yang sangat penting. Ini benar-benar merupakan prestasi yang gemilang yang diraih oleh sekolah kita. Langsung saja, saya ucapkan selamat kepada Tiara karena telah mendapatkan suatu kehormatan untuk melanjutkan pendidikannya di kedokteran Universitas Indonesia. Sekali lagi saya ucapkan selamat” Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kedokteran? Bagaimana mungkin? Seketika aku merasa bagaikan air hujan masuk memenuhi mataku. Aku menangis. aku terisak. Aku tak kuasa menahannya lagi. Air mata bahagia, mimpi yang selama ini kudambakan akhirnya kini tercapai.
Tiga tahun lamanya aku terus belajar, aku terus bermimpi, aku terus percaya, bahwa suatu hari mimpiku akan tercapai. Dan kini, inilah akhirnya. Aku bisa meraih mimpiku. Jadi jangan pernah berhenti percaya dan yakin, karena aku tahu dengan keyakinanlah tuhan akan mengabulkan harapan kita walau tampak mustahil.
Comments
Post a Comment