IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Tarian Bumi
Jumlah Halaman : 176 halaman
Penulis : Oka Rusmini
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
SINOPSIS
Tarian Bumi mengisahkan kehidupan Bali bukan dari
segi kemegahan dan keeksotisannya, melainkan dari segi kebudayaan, adat
istiadat, dan kerohanian atau spiritualnya. Dalam novel ini dijelaskan dengan
gamblang perbedaan kehidupan yang dimiliki rakyat kasta bangsawan dan kasta
sudra, dimana terselip begitu banyak ketidakadilan di dalamnya. Novel ini lekat
akan cerita kehidupan perempuan Bali. Kedudukan sosial atau kasta memegang
peranan penting bagi masyarakat pada saat itu.
Dikisahkan
seorang perempuan bernama Luh Sekar yang terlahir dari kasta sudra. Ia memiliki
ambisi untuk menikahi seorang Ida Bagus (lelaki brahmana) karena bosan hidup
miskin dan tidak dihormati. Luh Sekar, perempuan cantik dengan sejuta ambisi
berhasil menikahi seorang bangsawan dan dikaruniai seorang anak bernama Ida Ayu
Telaga. Ambisi Luh Sekar tidak berhenti samapi disana, ia menginginkan putrinya
menikah dengan lelaki dari kasta yang sama, akan tetapi Ida Ayu Telaga
mencintai seorang dari kasta sudra.
Perempuan
kasta brahmana tidak diijinkan untuk bersuami dari kasta yang lebih rendah.
Mereka harus berbicara dengan bahasa berbeda dan memandang kehidupan di bumi
dari perspektif yang lebih tinggi. Perempuan kasta brahmana harus bertutur kata
yang lembut, sopan, dan menjadi seorang perempuan, perempuan dalam arti yang
berbeda. Banyak hal yang harus dipenuhi untuk menjadi perempuan bangsawan
seutuhnya.
Puncak
konflik terjadi ketika Telaga memutuskan untuk menikahi seorang sudra, sehingga
ia harus menanggalkan kebangsawanannya. Ia harus memilih antara mengkhianati
adat istiadat yang telah ada sejak lama atau mengejar cintanya. Menurut
kepercayaan, lelaki kasta sudra yang menikahi wanita bangsawan merupakan aib
bagi keluarganya. Hal itu akan menjadi pergunjingan warga dan menimbulkan
malapetaka.
Novel
ini dengan sangat baik menceritakan repotnya menjadi perempuan Bali. Penuh taksu, daya pikat, sulitnya menentukan
pilihan hidup, karena kasta, budaya, dan agama. Dalam memilih pasangan hidup
pun harus sesuai dengan aturan budaya yang berlaku, tidak bisa memilih sesuai
dengan hati nuraninya. Masing-masing tokoh perempuan pada novel ini memiliki
karakter yang kuat dan tangguh. Luh Sekar yang berjuang sekuat tenaga untuk
menaikkan derajatnya menjadi bangsawan dan mengorbankan segala sesuatu yang
dimilikinya, Ida Ayu Telaga yang meninggalkan kebangsawanannya demi mengejar
pasangan hidup yang ia inginkan, dan Luh Kanten yang mencintai Luh Sekar, akan
tetapi mampu merelakannya agar ia mendapat gelar bangsawan yang diinginkannya
sejak dulu.
Novel
ini juga memberikan sindiran kepada orang-orang yang hanya mempelajari tarian
Bali untuk kepentingan pribadi, tanpa memikirkan filosofi yang melekat di
dalamnya, dan tidak ikut berusaha melestarikan kebudayaan tersebut. Hal
tersebut diutarakan oleh Luh Kambren, seorang guru tari yang selalu menolak
untuk mengajar di sekolah tinggi karena mereka hanya belajar untuk mendapatkan
kelulusan.
“Dulu tiang senang mengajar di sekolah tinggi. Murid-muridnya
terlihat serius untuk memperdalam tari. Sayangnya, mereka tidak berusaha
menyimpan dan mencatat untuk kepentingan mereka sendiri. mereka belajar sekadar
lulus. Mereka tidak menginginkan yang lebih. Meneliti, misalnya. Justru
orang-orang asig yang sering mengunjungi tiang, bertanya banyak hal. Tiang
perempuan bodoh. Tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Yang tiang herankan,
ke mana larinya orang-orang yang sudah kenyang makan sekolahan itu? Kenapa
bukan mereka yang menulis tentang bumi ini, peradaban ini?.... Semua telah
berubah. Tiang jadi tidak mengenal tanah kelahiran tiang sendiri.”
Namun,
terdapat hal yang kurang pada novel ini, yaitu hilangnya cerita tokoh Luh
Kanten. Seharusnya Oka Rusmini mengkaji lebih dalam tentang tokoh Luh Kanten,
karena ia merupakan salah satu orang yang berperan penting dalam hidup salah
satu tokoh utamanya. Selain itu tokoh Luh Kanten dapat membuka perspektif baru
jika diceritakan lebih lanjut, apa yang akan dilakukan seorang lesbian jika
menghadapi konflik semacam ini.
Tarian
Bumi menjadi fenomena sekaligus kontroversi. Novel ini dengan sangat terbuka
menghantam keadaan yang melingkupi kehidupan perempuan di kalangan bangsawan
Bali yang masih sangat feodal. Dalam konteks adat istiadat Bali, Tarian Bumi
dipandang sebagai sebuah pemberontakan kepada adat (Tempo, 9 Mei 2004).
Perempuan-perempuan yang ada dalam Tarian Bumi adalah mereka yang menanggung
pilihan ketika prinsip bertentangan dengan adat.
“Kelak kalau kau jatuh cinta dengan seorang laki-laki, kau
harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan. Apa untungnya
laki-laki itu untukmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau
dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu
memberimu ketenangan, cinta, dan kasih....” (Rusmini, 2004: 21)
Comments
Post a Comment