S |
atu tahun
lebih telah berlalu, dan tak ku sangka aku mampu. Aku tidak mengira malam-malam
kelabu itu akhirnya berlalu dan kini semua kembali normal. Tapi, sejujurnya aku
pun tidak yakin apakah kini memang benar-benar sudah menjalani hidup yang normal
dan kembali menjadi diriku yang dahulu?
Beberapa lama rasanya seperti kehilangan diri sendiri. Aku pikir
merelakan itu mudah, karena aku pun tahu bahwa rela atau ikhlas itu memang
sesuatu yang seharusnya aku lakukan dan semua kejadian yang terjadi adalah atas
kehendakNya. Tapi, apa iya semudah itu? Ternyata tidak. Ada beberapa fase yang
ternyata berlalu selama 1 tahun terakhir di hidupku. Dan aku rasa aku sudah
bisa menceritakan semuanya sekarang.
Jika boleh jujur, awalnya aku tidak merasakan apapun. Disaat yang lain
berlinang air mata, aku hanya terdiam menatap rumah terakhir ibuk disana. Aku
hanya berkata lirih, "semoga tenang" kemudian kembali terdiam dan
menatap di kejauhan. Jauh di depanku tertanam puluhan pohon bambu dan pepohonan
lainnya. Diantara pohon bambu dan dedaunan yang tertiup angin siang itu, aku
melihat luasnya langit, aku duduk diantara orang-orang yang datang dan
memanjatkan doa. Di sebelahku, beberapa orang berusaha menguatkan. "Gak
opo fi, sing sabar", begitu katanya. Ya, aku tidak apa-apa. Ya, aku sabar.
Begitu kataku terus di dalam hati dan tidak lama setelahnya, kerumunan orang
pun mulai pudar. Dan aku juga kembali pulang.
Hari-hari berlalu begitu saja. Bertemu dengan orang-orang
yang datang ke rumah mengantarkan bela sungkawa, membawa bahan makanan untuk
tujuh harian (sepertinya adat Jawa untuk mendoakan orang yang sudah meninggal),
dan orang-orang yang rewang, membantu memasak hidangan untuk tamu yang datang.
Saat itupun aku masih merasa biasa saja. Aku tahu saat ini ibuku benar-benar
sudah pergi, namun tidak terlalu terasa karena keramaian di sekitarku. Bangun
pagi, mengurusi kucing-kucingku, bercengkerama dengan ibu-ibu yang datang, dan
melakukan berbagai hal lain. Setelah aku pikirkan kembali, entah memang aku
tidak merasakannya atau aku yang menolak untuk percaya dengan kejadian yang
sebenarnya dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan.
Tujuh hari pun terlewati, aku memutuskan kembali ke rutinitas–bekerja. Di hari kedelapan aku terbang kembali ke Kota Samarinda. Aku mulai merasa kesepian dan kehilangan dengan berdiam diri saja di rumah, aku pikir semua akan baik-baik saja jika aku pergi dan menyibukkan diri. Tetapi ternyata bukan itu yang terjadi. Satu minggu di kantor aku hanya berhasil menyelesaikan satu buah surat (itupun karena diminta), sisanya hanya scroll mouse dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Pikiranku kalut. Aku bingung. Jujur, aku bingung dengan yang ku rasakan. Apakah aku marah, sedih, kecewa, atau apa? Dan sebenarnya, kepada siapa perasaan itu tertuju? Dan disitulah aku memasuki fase selanjutnya dari kehilangan.
Aku kesal kepada Sang Pencipta. Berkali-kali pertanyaan
itu muncul menghantui, kenapa harus aku? Kenapa secepat ini? Sang Pencipta pun
tahu keinginanku untuk mewujudkan keinginan ibu setelah akhirnya aku cukup
mampu. Tapi, keinginanku tidak terwujud. Aullllllllllll. 😭😭😭. Insyallah ibu sdh gak sakit lagi. Dibawa baca yasin
terus Aul. Gak akan ada yg bisa nguatin dan buat ikhlas selain
mendekatkan diri sama Allah. Begitu
katanya. Dan aku percaya, hanya Allah yang bisa menguatkan segalanya. Tapi,
hatiku ragu dan aku masih kesal dengan kejadian itu. Aku berusaha mendekatkan
diri, tapi nyatanya aku malah menjauh. Dan semakin jauh, aku semakin seperti
kehilangan arah.
Waktu pun terus berlalu, dan aku, ya masih begitu-begitu saja. Hari-hari terasa hambar, seperti ada lubang besar di dalam dada. Sore itu aku duduk melamun sambil menatap keluar jendela rumah. Jendela yang menghadap ke ufuk barat itu menampakkan burung-burung yang mulai terbang kembali ke sarangnya, dan langit yang mulai berubah menjadi gelap. Tanpa sengaja, entah datangnya darimana, ketika aku membuka sosial media, ayat itu melintas.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram.
Saat itu aku tersadar, aku terlalu jauh dari Sang
Pencipta. Apakah ini cara-Nya mengingatkanku untuk kembali? Selama ini
seringkali aku merasa tidak tenang, seperti ada yang kurang dan hilang. Sekali
lagi aku tersadar, sudah saatnya mengikhlaskan, sudah saatnya kembali ke
jalanNya. Aku mencoba memperbaiki ibadahku, memperbaiki hubunganku dengan Sang
Pencipta. Aku merasa aku bukanlah seseorang yang sangat baik agamanya, aku
masih jauh dari kata baik, namun aku masih sangat yakin bahwa Allah akan
memaafkan hambanya yang benar-benar memohon maaf.
Ternyata selama ini aku lupa meminta pertolonganNya untuk
meringankan hatiku yang terasa amat berat. Aku terlalu fokus dengan rasa
kehilangan dan menyalahkan keadaan. Tidak lama dari "kesadaranku"
yang mulai kembali, aku merasa aku belum benar-benar kembali. Ketika
teman-teman dekatku disibukkan dengan pekerjaannya, ada yang sudah mulai
menikah, ada yg melanjutkan hidup dengan kuliah lagi, ada yang memulai usaha
baru, aku merasa aku masih berdiri di tempat semula. Tidak ada kemajuan. Dan
tidak ada ibuk untuk teman cerita. Perasaan itu kembali lagi sampai-sampai
ingin menghilang saja rasanya lalu hidup menjadi kucing.
Pada akhirnya, aku terus mencoba kembali kepadaNya.
Tidak ada satu orangpun yang tahu, hanya aku dan Allah yang tahu apa yang
selama ini aku rasakan. Di setiap doaku, di setiap akhir sholatku, aku selalu
memohon ya Allah tolong kembalikan aku menjadi aku yang sebelumnya. Tolong,
ringankan beban yang aku rasakan. Perlahan-lahan aku merasa kembali menjadi
pribadi yang aku kenal sebelumnya. Perlahan-lahan aku merasa ibuk kembali
tersenyum di ujung sana melihat aku yg kembali kepadaNya.
Jika ada satu kesempatan untuk bertemu dan menanyakan
satu pertanyaan, aku sangat ingin menanyakan langsung kabarnya. Apa kabar
sekarang? Disana baik-baik saja kan? Keyakinanku cukup kuat, aku cukup yakin
Allah ada disana untuk menjaganya. Selalu kupanjatkan doa agar ibukku berada di
tempat yang nyaman dan dekat dengan Sang Pencipta. Dan
aku yakin, Allah selalu punya rencana terbaiknya.
Blessed in
He Whose hand is the kingdom, and He Who has power over all things, Who created
death and life that He may try you. (Al Mulk 67:2)
Comments
Post a Comment