Beberapa waktu yang lalu, aku menyelesaikan sebuah novel fiksi sejarah berjudul As Long as the Lemon Trees Grow. Berlatar di Kota Homs, Suriah, novel ini menceritakan perjuangan warga Suriah di tengah revolusi yang mengguncang negara mereka. Saat itu, kondisi Suriah sedang sangat genting—perang berkecamuk di berbagai wilayah, dan Homs menjadi salah satu kota yang paling terdampak. Para revolusioner berusaha menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa kala itu.
Tokoh utamanya bernama Salama, seorang mahasiswi farmasi yang terpaksa menjadi tenaga medis di tengah kekacauan negaranya. Kurangnya dokter dan banyaknya korban berjatuhan membuatnya bertekad membantu di salah satu rumah sakit di kotanya. Salama kehilangan seluruh keluarganya di suatu insiden tragis, kini ia tinggal bersama Layla —teman masa kecil sekaligus istri dari kakak laki-lakinya.
Buku fiksi sejarah ini memang membahas tentang perang revolusi yang saat itu terjadi di Suriah, namun dari sudut pandang efek psikologis yang terjadi kepada orang-orang yang hidup dan melewati masa-masa sulit tersebut. Jika kalian berekspektasi bukunya akan hanya fokus di sejarah Suriah, hmm sayang sekali, kalian salah. Novel ini lebih menekankan ke dampak dari sebuah perang, seperti banyak anak-anak yang meninggal dunia, terjangkit penyakit, kehilangan anggota keluarga, dan lain sebagainya. Jadi ingat konflik Gaza ya.
Meski hidup dalam situasi perang, Salama masih menemukan secercah kebahagiaan lewat Layla dan kehadiran Keenan, seorang laki-laki yang juga dihadapkan pada dilema besar: bertahan di Suriah untuk mendokumentasikan kenyataan, atau pergi bersama Salama dan kedua adiknya. Di tengah hiruk pikuk perang, keduanya saling menguatkan untuk terus bertahan.
Selesai membaca buku ini, hampa sekali rasanya. Konflik panjang di Suriah jarang sekali tersorot media, dan buatku buku ini sangat membuka mata dan sudut pandang baru. Ternyata, masih ada loh negara di belahan bumi lain yang saat ini sedang berjuang, mempertahankan hak dari pemerintah yang otoriter. Ketika membaca buku ini, banyak emosi yang kurasakan, senang, sedih, terharu, kaget, serta kagum pada keteguhan hati para tokohnya.
Bagiku pribadi, novel ini sangat kompleks tapi mengena. Ia menggambarkan dengan indah perjuangan seseorang yang kehilangan segalanya, namun tetap berusaha menolong sesama dan mencari makna hidup di tengah kehancuran, yang masih mencari setitik kebahagiaan di tengah dunia yang rasanya sama sekali tidak menjanjikan datangnya kebahagiaan, yang terus menguatkan dirinya untuk bertahan demi orang yang dicintai. Kadang kita berpikir, orang yang masih hidup adalah yang beruntung. Namun, belum tentu itu yang dirasakan orang yang masih hidup dan mengalami kehilangan. Hidup di dunia ditemani sepi dan sendiri, tanpa keluarga yang ada untuk menguatkan diri. Novel ini bukan hanya tentang perang, tetapi tentang keberanian untuk terus hidup ketika segala hal terasa mustahil.
Comments
Post a Comment